this pict made by me |
Untuk sebagian orang kegiatan membaca merupakan hal menyenangkan. Segala hal tentang buku menjadi sebuah kegilaan yang tidak bisa digambarkan: dimulai dari melihatnya mereka bertengger di rak-rak, menggenggamnya, mencium aromanya dan membacanya. Namun untuk sebagaian orang, kegiatan membaca buku merupakan hal terakhir yang ingin mereka lakukan jika memiliki waktu luang atau saat berada di transportasi umum. Boro-boro membaca satu buku tebal full text berjam-jam, untuk sekedar membaca komik pun enggan. Lebih menyenangkan untuk scrolling Tiktok atau reels Instagram, yang tanpa disadari membuat mereka terkena brain rot syndrome akibat doomscrolling yang tak kenal waktu. Karena sebagian dari mereka menganggap kegiatan membaca chat WA atau tulisan platform sosial media sebagai kegiatan 'membaca' pengganti membaca literatur asli, baik dari buku fisik maupun digital.
Menurut buku The Digital Reading Brain: Studies in Neuroscience of Reading and Reading Comprehension yang ditulis oleh S. M. Wolf menyebutkan perbedaan dalam cara otak memproses informasi dari media sosial dibandingkan dengan bacaan lebih panjang seperti buku atau tulisan ilmiah. Wolf menjelaskan bagaimana cara kerja otak yang berbeda secara signifikan saat kita membaca teks digital yang lebih pendek dan sering terputus-putus, dibandingkan dengan teks yang lebih panjang dan terstruktur.
![]() |
aku di event BBW |
Jujur aja deh, berapa puluh tab di google yang kamu buka tanpa membacanya? Kamu merasa ada suatu hal yang membuat kamu penasaran, lalu kamu mencari informasinya di google (atau search engine lainnya), kemudian kamu mengklik-klik link yang menurut kamu relevan, kamu baca secara cepat tanpa menyeluruh informasi yang tertera pada layar.
Sayangnya, membaca di internet tidak sama dengan membaca buku.
Hanya dengan membaca tulisan di Instagram dan Tiktok, otak kita terbiasa membaca mode cepat, melewati bagian panjang dan detail, serta berdurasi pendek (durasi 15-30 detik). Otak kita terbiasa menangkap poin-poin inti, tidak membuat kita bisa merenung dan memahami informasi yang terkandung di dalamnya. Kita seperti mesin sebuah senter yang memiliki jangkauan cahaya terbatas. Maka jangan heran kalau membaca buku terasa sangat berat, lelah, membosankan, bahkan... membuang-buang uang dengan membelinya.
Seseorang pernah mengatakan kepadaku, "Rim, buat apa sih kamu beli buku? Satu kali baca terus mau diapakan? Lebih baik dibelikan baju atau hal lainnya". Aku tidak mengatakan bahwa membeli pakaian atau hal lainnya sebagai kegiatan yang tidak penting. Jelas penting, bagaimana pun aku juga seorang pekerja di sebuah perusahaan yang dituntut untuk berpenampilan rapih dan sesuai dengan peraturan. Namun, aku jamin seratus persen bahwa membeli dan membaca buku sama pentingnya dengan membeli pakaian. Sama-sama penting, hanya berbeda dalam fungsi dan esensi yang berbeda.
Aku akan bercerita sedikit tentang pengalamanku dengan buku. Kegiatan membaca memang sudah aku kenal bahkan sebelum duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), menurut nenek-kakekku, sejak kecil aku senang membuka-buka buku apapun yang ada di rumah. Tak ayal, hal itu yang membuat kakek dan mamahku membelikan komik sepulang bekerja dari Jakarta. Suatu hari, ketika aku mendapatkan handphone pertamaku saat kelas 6 SD, aku mulai mencari pdf buku-buku di internet—saat ini masih kere dan tidak mengerti bahwasanya kegiatan mendownload buku sama dengan membajak buku penulis—dan berkenalanlah dengan novel Perahu Kertas karya Dee Lestari. Memancing rasa penasaranku dan mulai mencari buku-buku lainnya yang bisa aku temukan di perpustakaan sekolah.
Saat duduk di kelas 1 SMP, ketika itu pula untuk pertama kalinya aku mengunjungi toko buku. Aku ingat saat itu aku menyambangi toko buku AA dan toko buku Mahkota di Purwakarta setelah berhasil menabung uang bekal sekolah yang aku niatkan untuk membeli buku. Buku fisik pertama yang aku beli adalah buku Emma karya Jane Austen yang diterbitkan oleh penerbit Qanita dan berjumlah 740 halaman ini ternyata menjadi buku klasik pertama pula yang aku baca.
buku Emma by Jane Austen rilis pertama tahun 1815 |
Kegiatan membaca kemudian menurun ketika saat berkuliah. Kesibukan dunia perkuliahan, organisasi kampus dan nasional, menjadi volunteer belasan kali, mengikuti magang sejak di semester 3 hingga lulus—total di tiga tempat—dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membuat daya bacaku menurun. Mungkin jika bisa dihitung, aku hanya bisa membaca 3-5 buku saja dalam setahun.
Tetapi secara ajaib, kegiatan ini berlanjut saat aku mulai bekerja sebagai staf TJSL (Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan, atau dikenal juga dengan Corporate Social Responsibility) pada tahun 2021. Keberlimpahan atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT membuatku memiliki kebebasan untuk membeli buku. Dengan berbagai topik, genre serta negara asal penulis. Sejauh ini penulis favorite-ku adalah R.F. Kuang (trilogy buku The Poppy War, Babel dan Yellowface), Dee Lestari (Perahu Kertas, Aroma Karsa dan trilogy Rapijali), Paulo Coelho (The Alchemist), Jane Austen (Emma), Louisa May Alcott (Little Women), Khaled Hosseini (A Thousand Splendid Suns dan The Kite Runner), Andrea Hirata (Laskar Pelangi), dan lainnya. Dua tahunan ini juga aku membaca buku-buku dengan genre lain yang menarik perhatianku seperti Rasina, Laut Bercerita, Re: dan Perempuan, Multatuli, Cantik Itu Luka, hingga pembahasan baru dalam perjalanan membacaku seperti Politik Jatah Preman dan The Smartest Kids In The World. List buku yang sudah aku baca bisa kalian akses di sini atau di akun Goodreads-ku.
Kegiatan membaca dan menenteng buku seperti bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupanku sejak saat itu. Namun plot twistnya, aku terlahir dan tumbuh di dalam keluarga yang tidak senang membaca. Baik itu koran, novel, komik, bahkan buku-buku berat. Menjadikan sebuah bukti bahwa semua orang bisa membaca asalkan ada hasrat membaca.
Lalu, gimana sih caranya biar bisa 'membaca dan duduk selama berjam-jam? menuntaskan buku setebal lima ratus halaman lebih dengan topik yang berat?'
Hal yang harus digaris bawahi adalah... tidak akan ada pemula yang bisa seperti itu. Pemula yang awalnya tidak nyaman dan anti membaca buku tidak serta-merta dapat dipaksa berubah untuk jatuh cinta dalam dunia literasi.
Seperti kata orang, kita bisa karena terbiasa dan tak kenal maka tak sayang. Orang perlu merasa nyaman untuk membaca satu lembar tanpa terjeda, yang diawali orang perlu 'menemukan' buku yang tepat untuk menjadi perekat antaranya dan buku. Untuk itu mulailah dengan duduk di tempat tenang minim distraksi dan mulai membaca selama sepuluh menit. Fokuskan segala perhatian kepada bacaan yang ada di tangan, lalu istirahat. Lakukan itu secara berulang dan tambahkan durasinya. Kemudian coba untuk memasang target membaca satu buku perbulan, yang kemudian dinaikan jumlahnya seiring berjalannya waktu kita akan mulai terbiasa dan merasa nyaman.
Lalu, buku apa sih yang punya kekuatan magis yang bisa bikin orang betah baca?
Kabar buruknya, ngga ada jawabannya. Kabar baiknya, setiap orang memiliki subjek atau topik yang mereka senangi yang bisa menjadi referensi kriteria pada bacaan-bacaan. Contoh nih, si Ani (bukan Aninya Rhoma Irama hehe) menyukai hal-hal yang berbau fantasi dan tak nyata. Maka dia bisa membaca buku Harry Potter, Percy Jackson atau The Lord of The Ring. Ada juga si Dedy (bukan Dedy Corbuzer) yang suka hal-hal perjuangan di dalam sebuah negara fiktif, dia bisa membaca buku-buku distopian seperti Hunger Games dan Divergen.
Aku yakin setiap orang akan menemukan buku dan genrenya. Sama seperti setiap buku akan menemukan pembacanya. Tugasnya cukup 'mencari' hal yang kita senangi. Tidak masalah itu artikel ilmiah, novel, cerpen, cerbung, komik atau AU (meskipun sampai saat ini aku belum menemukan esensi menariknya membaca ini).
Terakhir, mungkin kita memang perlu belajar ulang sebagaimana saat duduk di bangku sekolah: belajar duduk, belajar diam, belajar khidmat, belajar memilih buku yang ingin kita rangkul setiap saat sampai tuntas dan pindah ke buku yang baru. Pada jendela dunia baru. Pada informasi dan perspektif baru.
Membaca pada esensinya bukan untuk tahu lebih banyak, tapi untuk merasa lebih dekat dengan pikiran sendiri, dengan ide-ide besar, atau bahkan dengan manusia-manusia yang tak pernah kita temui dan hidup nun jauh di sana, yang kisahnya tertulis dalam halaman-halaman yang sabar menunggu untuk dibuka dan kita ketahui.
Karena membaca memberi kita informasi, memberitahu kita untuk belajar berempati, mengajari kita bagaimana menjadi manusia sejati melalui POV orang lain.
See u next time!!!
0 Comments
Show your respect with give me comment, please