![]() |
Rima's Photo |
Apakah dulu, saat masih kecil, kalian sama seperti aku yang menginginkan kehidupan dewasa? Menyakini jika kehidupan usia 20-an lebih menyenangkan dibandingkan hari-hari dimana kita terbangun di pagi hari, berangkat ke sekolah, bertemu dengan kawan-kawan hingga menjelang sore, pulang ke rumah dan bertemu keluarga, kemudian mengulang kehidupan itu hari-hari berikutnya.
Kita mengira kehidupan usia 20-an—yang sama-sama bangun dipagi hari juga—lebih menyenangkan karena kita berpikir bahwasanya pada tahun-tahun ini kita akan mampu menghasilkan uang sendiri dengan bekerja.
Kita mengira bahwa kehidupan usia 20-an ini kita sudah mampu untuk membantu keluarga kita—khususunya orangtua kita—untuk mencapai kenyamanan yang seharusnya mereka capai sejak dahulu tanpa mengkhawatirkan anak-anaknya.
Kita mengira bahwa kehidupan usia 20-an ini kita akan bersama dengan seseorang yang kita cintai dan mencintai kita sama besarnya.
Kita mengira bahwa kehidupan usia 20-an kita akan memiliki banyak sahabat yang akan selalu mendukung, melindungi, dan menemani kita.
Kita mengira bahwa kehidupan usia 20-an kita akan memiliki banyak uang yang mampu membawa kita keliling dunia.
Oh, ini lah kenyataannya. Bahwa terkadang dunia tidak bekerja untuk kita. Tapi kita bekerja untuk takdir kita sendiri.
Jika 'aku' yang duduk di bangku kelas 5 SD itu tahu bahwasanya banyak hal yang akan menimpanya di depan—jika aku bisa memberitahunya saat itu juga—mungkin dia tidak akan berani untuk tetap optimis.
Dimana segalanya tidak semudah bermimpi.
Life is hard. Dying is easy.
Saat ini—jika aku memandang diriku sendiri sepuluh tahun yang lalu, pada sesosok Rima yang berusia 15 tahun, banyak hal yang ingin aku katakan kepadanya bahwa:
1. 'Terlalu' Memandang Dunia Itu Baik
Rima—aku ingatkan, dia berusia 15 tahun—selalu memandang positif terhadap segala sesuatu yang ia temui dan lihat.
Ia menyakini bahwa setiap manusia di muka bumi ini adalah perwujudan malaikat-malaikat yang turun ke bumi. Ia lupa bahwa manusia hadir membawa trauma, masa lalu, ego dan urusan masing-masing. Ia tidak tahu bahwasanya banyak manusia yang bisa 'melukai' manusia lainnya, asalkan dirinya bahagia.
2. Memaksakan Ikatan Yang Ingin Pergi
Ada pepatah yang mengatakan keluarga itu seperti darah. Darah lebih kental daripada air. Maknanya, ikatan kekeluargaan lebih kuat dibandingkan ikatan lainnya. Istilah ini pertama dikenal di Jerman pada abad ke-12. Tapi seringkali aku menemui—mungkin kalian juga—hal yang bertentangan dengan frasa ini. Banyak ikatan-ikatan lainnya yang lebih kuat dan berumur panjang dibandingkan dengan orang-orang yang seharusnya terikat karena berasal dari akar yang sama atau dari akar itu lah kita berasal. Bahwa banyak pohon-pohon lainnya yang malah membantu kita ketika sedang menghadapi musim kemarau yang panjang dengan memberikan air. Menginjinkan kita untuk menjadi bagiannya sebagai 'akar baru'.
3. Menerima Di Bawah Standar
Sebagai perempuan yang tumbuh bersama dengan film-film Disney, penggemar film romance 2000-an, atau menjadikan genre romcom sebagai salah satu genre favorite yang digemari, tidak menjadikan aku hidup sebagai seorang gadis yang mendambakan pangeran berkuda putih dengan membawa pedang serta gelar bangsawan yang menempel pada nama belakangnya. Tidak pernah sekali pun aku mendambakan bahwa suatu saat ada seseorang yang menarikku kepada kehidupan yang terasa seindah fairytale.
Tidak pernah. Tidak pernah sekalipun.
Sejak kecil aku merasa bahwasanya nasibku bergantung pada ikhtiar (usaha dan kerja keras) aku sendiri. Bahwasanya jika aku ingin sampai di sebuah puncak yang aku inginkan, itu berarti aku harus menapaki anak tangga demi tangga untuk sampai ke sana. Bukan menunggu sebuah helikopter atau pesawat UFO.
Meskipun, aku memiliki teman yang memiliki mimpi itu... aku tidak pernah berpikir bahwasanya aku bisa mengandalkan itu untuk 'bahagia'.
Jadi, selama ini, aku menyakini bahwa laki-laki yang baik, satu frekuensi denganku, rajin dan lucu cukup bisa aku andalkan untuk 'menjaga' hatiku yang selama ini aku bawa amat sangat berhati-hati. Dia terlalu banyak melihat dan merasakan sehingga menyakini bahwa sebenarnya cinta itu tidak ada. Kemudian, aku tertampar kenyataan bahwasanya hal itu saja tidak cukup.
4. People Come And Go, Also Your Friends
"People come and go" say it.
"People come and go" say it louder.
People come and go" MORE LOUDER!
"PEOPLE COME AND GO, SO SHUT UP AND LIFE AS YOU JUST LIFE ALONE IN THIS FUCKING WORLD"
Tidak ada yang namanya 'selamanya'. Seperti yang aku tulis di atas, bahwa manusia hadir membawa trauma, masa lalu, ego dan urusan masing-masing. Jika kamu sedang 'dekat' bersama dengan orang-orang yang layak kamu sebut sebagai teman atau sahabat, itu berarti kalian sedang berada dalam jalur dan frekuensi yang sama. Setelah masanya berakhir, kita akan memiliki jalan yang lain. Berpisah.
Dulu aku tidak mengerti ini dan begitu yakin bahwa 'kedekatan itu akan berlangsung sangat lama sehingga aku berani mendebat seorang laki-laki seusiaku yang menyakini bahwa "Tidak perlu untuk memiliki banyak teman" dengan menjawabnya "Seru banget padahal punya banyak sahabat. Artinya semakin bahagia". Kemudian aku ditegur oleh seseorang yang usianya lebih tua dari kami berdua dan ia mengatakan bahwa hidup temanku lebih jauh melihat lebih banyak dari sisi pertemanan dari aku.
Dulu, aku merasa bosan dengan beberapa orang yang sering bersama aku. Aku merasa aku akan baik-baik saja jika aku tanpa mereka sehingga laki-laki yang lebih tua dari aku itu mengatakan, "Nikmatin aja keseringannya. Nanti juga akan pisah kok ke jalur masing-masing". Begitu naif dan bodohnya aku dulu yang merasa terlalu optimis dan merasa bahwa orang-orang yang aku sayang itu 'akan' selalu bersama ku'.
Nyatanya—jika Rima hari ini bisa memberitahunya—bahwa suatu saat nanti ia akan menjalani kehidupan dimana ia akan lebih banyak sendiri. Menghadapi segala badai-badainya sendirian. Tak berani untuk meneduh ke sebuah rumah dimana lampunya begitu terang, perapian menghangatkan seluruh ruangan, makanan tersaji di meja makan dan gelak tawa bergema hingga keluar pintu di mana ia berdiri. Jadi, ia akan kembali berjuang sendiri karena... ia tidak layak untuk 'mengganggu'.
Ke-empat point itu datang secara bersamaan. Memeluk kehidupan yang aku usahakan sejak dulu namun terjadi banyak menimbulkan goncangan. Prosesnya berjalan. Namun terasa sangat lambat. Waktu terasa berjalan begitu lambat.
Ingin aku menyerah. Namun dunia tidak akan memberikannya waktu untuk beristirahat. Banyak hal yang harus aku lakukan.
Sehingga yang aku perlukan adalah 'kedamaian itu. Jadi, kuputuskan untuk bertanya dan meminta seorang profesional untuk membantuku keluar dari ruang yang gelap, yang tidak membiarkan aku tidur, tidak membiarkan bunyi pedang itu berhenti beradu di kepalaku, sesak di dada tiada akhir, bola mata yang terus mengeluarkan airnya, dan amarah yang sering kali meluap kepada orang-orang yang tak seharusnya menerima rasa itu.
Jadi, aku pergi menemui psikolog pertama kali di bulan Juni. Meluapkan segala hal yang tertahan di dalam dada seseorang yang terlahir dan besar sebagai seseorang yang banyak bicara sekaligus senang menghibur orang-orang untuk tertawa. Mengeluarkan luapan emosi itu sama seperti mengeluarkan bisa racun yang aku tahan sendiri. Mendengarkan hasil analisa dan hasil test dari dokter.. Sampai aku mencoba masih menguatkan diri untuk menulis hal-hal yang disampaikan dokter itu.
Mengatakan hal-hal yang membantuku untuk aku sembuh.
Lalu dokter itu menanyakan hal yang tak pernah aku pikirkan yakni, "Menurut Rima, Rima ini bagaimana?"
Otakku seperti membeku dalam beberapa detik dan tenggorokanku tercekat sehingga aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku menangis. Menunduk dan merasa bahwa... segalanya gila.
Pada saat itu aku seperti melihat diriku sendiri yang berusia lima tahun, berambut pendek dengan poni pendek sejajar alis, dan mengenakan gaun berwarna kuning dengan bagian rok bermotif kotak-kotak. Dia—Rima kecil—melihat ke arahku dengan gugup dan kedua bola matanya berair. Tidak ada senyuman yang menampilkan gigi-giginya yang ompong di bagian depan. Yang terlihat hanyalah ia begitu gugup dan sedih dalam waktu bersamaan.
Aku menjawab dengan suara yang terputus-putus oleh tangisan dan tenggorokan yang tercekat. "Kasian dok. Rima ini punya banyak bakat. Dia bisa ngelukis, nulis, rajin, gampang bersosialisasi, pekerja keras sedari kecil, tapi masalah-masalahnya... orang-orangnya... buat dia kaya gini."
"Rima harus kaya gimana memangnya?"
"Bahagia dok. Sukses dok. Bukan kesiksa kaya gini"
"Menurut kamu, Rima harus ngapain?"
Dan sejak saat itu aku seperti menemukan setitik cahaya. Aku merasakan sebuah dorongan yang lebih besar daripada yang pernah aku alami. Aku merasa... ada harapan.
Sejak saat itu, aku mereset segala hal 'yang salah' dan memantapkan apapun yang menurut aku 'baik'.
So, setelah menyadari dan memhami jika aku sudah di fase keempat dalam 5 tahapan duka, aku merasa harus merubah apa yang harus aku ubah. Kemudian, hal-hal ini lah yang aku lakukan sejak saat itu—yang seharusnya aku lakukan sejak dulu, jika aku tau:
1. Melepaskan ikatan-ikatan yang ingin diputuskan denganku setelah aku sudah berusaha mempertahankannya
Dalam hal ini, hasil dari usaha untuk menjaga atau melepaskan sebuah ikatan yang ingin pergi—sekuat dan sedalam apapun keinginanku untuk menjaganya—sehingga melukai ku selama bertahun-tahun, hasil yang aku dapatkan hanya dua: siksaan berkepanjangan atau kebebasan yang melegakan. Jadi untuk pertama kalinya, alih-alih aku memperpanjang perjuanganku untuk mempertahankan ikatan yang datang bersama dengan kelahiranku, aku memilih untuk kebebasan yang melegakkan. Aku memilih untuk bahagia daripada mendapatkan sakit yang lebih banyak.
2. Cut off
Selama dua puluh lima tahun aku hidup, aku tidak pernah membuang orang-orang. Terlalu takut dan merasa setiap manusia itu berharga kehadirannya dihidupku. Untuk pertama kalinya aku melakukan ini, dengan psikolog sebagai pemantau. Aku mengunfollow dan memblock yang dirasa dan terasa menimbulkan luka dan harus diakhiri. Terasa aneh karena selama ini aku berpikir jika ini akan memutuskan tali silaturahmi dan pertemanan hingga dokter mengatakan,
"Mengapa selalu berusaha menjaga hubungan dengan orang-orang yang tidak memperlakukan sama baiknya dengan yang dilakukan Rima kepada mereka? Mengapa merasa harus selalu berteman dan berhubungan dengan orang-orang yang merasa 'menyakiti' Rima lebih baik dilakukan, dibandingkan tetap berhubungan baik? Mengapa tidak berpikir jika mereka saja bisa menyakiti Rima, mengapa Rima tidak bisa membuang mereka dalam hidup Rima?"
Jadi, pada hari itu aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Sejak perilaku dan perkataan mereka dan keluarganya menyakiti aku yang bahkan mencintai mereka. Jika dipikir-pikir... siapa yang rugi?
3. Jadi lah 'Rumah' Untuk Diri Sendiri
Artinya, tidak pernah menjadikan orang lain sebagai tempat ternyaman dan membahagiakan di dunia ini. Aku mencari dan menemukan banyak hal yang membuatku bahagia tanpa atau hadirnya orang-orang.
Aku senang jika melakukan perjalanan sendirian, atau dengan orang lain.
Aku senang membaca & melukis di rumah, maupun pergi naik gunung dengan orang lain.
Aku senang menonton ke bioskop atau pergi ke toko buku, atau bersama orang lain.
Aku senang menulis jurnal, atau mengobrol dengan orang lain.
Aku senang bersama diriku sendiri, atau orang lain.
Intinya adalah, aku akan selalu merasa bahagia dan aman dengan atau tanpa siapapun. Aku memfokuskan bahwasanya di dunia ini semua makhluk—termasuk aku—memiliki urusannya masing-masing. Aku belajar bahwasanya urusanku lebih penting dibandingkan dengan memenuhi ego orang-orang. Aku belajar bahwasanya menjadi 'sendiri' sama penting dan menakjubkannya jika aku bersama dengan orang lain.
Dengan itu aku tidak akan mudah terluka. Dengan itu aku akan lebih stabil.
Dan tentang opini orang lain, mereka hanya satu titik yang bahkan kehadirannya tidak terlihat dari atas langit. Mereka begitu kecil. Dan opini serta ucapan mereka tidak akan pernah berdampak dan membawa perubahan baik dalam hidupku sepuluh tahun mendatang. Khususnya opini dari seorang Ibu yang mengatakan melalui anaknya bahwa,
"Kenapa keluarga dia (Rima) berantakan? Kenapa keluarganya bercerai? Kenapa dia dibesarkan neneknya? Etc" Mereka sudah kehilangan anak perempuan dari seorang Ibu yang sama-sama punya kekuatan super power yang bisa merubah dunia karena apa yang sudah kami miliki. Mereka rugi.
4. Semua Orang Akan Mati, Dunia Ini Adalah Tempat Persinggahan
Bicara tentang kefanaan, sejujurnya tidak aku indahkannya selama ini. Aku cenderung menjalani kehidupan dunia tanpa memilikirkan kehidupan selanjutnya namun kuyakini ada sebagaimana termasuk rukun iman dalam Islam.
Hingga datanglah sebuah hari dimana aku kehilangan salah satu sahabatku. Yang kusayangi. Yang banyak membantu dan mendengarkan aku selama hampir 7 tahun. Aku merasa bahwasanya dunia ini tidak lebih dari tempat persinggahan. Kita semua akan meninggal.
Kejadian itu memberikan pukulan. Aku merasa banyak hal yang harus dia rasakan dan capai dalam hidupnya. Dia selalu mengatakan ingin panjang umur, aku tidak. Kenapa rasanya tertukar?
Kemudian aku sampai di titik dimana aku menyadari bahwasanya 'aku masih hidup' ini adalah sebuah keberkahan dan kenikmatan dari Allah SWT. Tuhan ku. Bahwasanya Ia masih menginginkan aku hidup dan memberikan banyak kebaikan di dunia ini. Bahwasanya Dia masih ingin aku melanjutkan hidup.
Bahwa, Dia masih memberikan kesempatan aku untuk beribadah alih-alih terlalu tergesa-gesa dalam keduniawian.
5. Jalani Kehidupan Sebagaimana 'Sebaiknya', Bukan Menginginkan 'Seharusnya'
Sekarang aku menyakini bahwasanya apa yang Allah tunda atau hilangkan merupakan bentuk dari perlindungan dan kasih sayang-Nya.
Sekarang aku menyakini bahwasanya Ia lebih mengetahui apa yang baik dan buruk untuk hidupku. Karena aku tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui segalanya.
Mungkin jika aku mendapatkan apa yang hilang dariku, aku akan lebih hancur dan jauh dari-Nya. Mungkin jika aku mendapatkan apa yang hilang dariku, aku tidak akan pernah belajar dan memetik setiap pelajaran dari masalah-masalah pada titik terendah itu. Dan yang pasti pada akhirnya akan menyeleksi orang-orang dari hidupku.
Pada akhirnya membuat aku melambung lebih tinggi setelah ditarik ke dalam lubang terdalam itu.
Pahami jika apa yang terjadi di dalam hidup pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Jika merasa tidak ada atau hanya ada masalah, berarti kita belum belajar.
Jadi kusadari, kehidupan 20-an akan sedemikian menyiksa dan membosankan jika aku terus membawa kantong-kantong sampah itu. Aku tidak akan bisa lari, bahkan berpindah tempat.
Kuputuskan juga tidak akan memberi ruang kepada siapapun yang tidak menghargai aku atau berperilaku tidak baik atau tidak membuat aku menjadi lebih baik.
Kuputuskan juga tidak akan menerima laki-laki yang tidak memiliki pendirian atas hatinya, tidak bisa membedakan hal baik dan buruk, yang masih 'anak-anak' alih-alih menjadi pria dewasa, dan yang tidak bisa menjadi seorang pemimpin.
Kuputuskan akan bersama dengan orang-orang yang masih ingin aku menjadi bagian dalam hidup mereka. Jika mereka merasa kehidupan baru mereka lebih baik tanpa menghadirkan aku, kupersilahkan dengan mempermudah keputusan mereka. Aku tidak akan mencari. Aku tidak akan mengajak untuk bertemu. Dan aku tidak akan pernah merajuk agar kami kembali menjadi dekat seperti dulu.
Kuputuskan untuk selalu memprioritaskan apa yang terbaik dalam hidupku. Dalam segala aspek. Seperti pandangan terhadap diriku sendiri ketika menjawab psikolog. Aku menyadari berbagai potensi-potensi yang ada pada diriku—kalian juga harus menyadarinya. Aku juga tahu bahwasanya aku mampu mencapai segala hal yang aku impikan. Aku akan memberikan energi penuh yang selama ini aku berikan kepada orang lain, sekarang akan aku berikan kepada diriku sendiri.Begitu lah untuk menjadi 'sembuh' yang sudah kujalani hampir setengah tahun dan aku merasa ada hasil dari proses yang sudah aku jalani.
Hidup terasa jauh lebih ringan, aman dan nyaman.
Aku yakini bahwasanya ini yang dimaksud Allah dengan memberikan hal-hal itu. Agar aku belajar. Agar aku menjadi manusia yang lebih matang. Agar aku menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Aku tidak berharap setiap orang yang membaca tulisan ini akan mengerti dan memahami sedalam yang aku rasakan. Karena pemikiran kita terbentuk pada tahapan yang berbeda-beda. Aku menulis ini agar kamu—yang membacanya ini hingga akhir—tahu bahwasanya kalimat "Setelah ada kesulitan itu ada kemudahan" yang sampai Allah ulang berkali-kali pada surat Al-Insyirah, itu nyata adanya. Bahwasanya jalan keluar lebih banyak dari masalah yang sedang kita hadapi.
Jadi, apapun itu, camkan pada diri bahwasanya kita bisa melewati dan belajar dalam setiap kerikil yang hadir pada jalan hidup kita. Bahwasanya Allah sudah menyiapkan hal yang lebih baik di depan mata.
Dan sebagai bukti terakhir "Oh, To Be This Healed" adalah aku kembali berani untuk menulis dan membagikannya sehingga tulisan ini bisa kalian baca.
XOXO, Rima Solihat.
0 Comments
Show your respect with give me comment, please