Aku tidak pernah benar-benar dekat dengan gadis ini. Tidak selama kurun waktu 25 tahun hingga sebuah peristiwa terjadi dalam satu babak hidupku. Bagaikan ‘flip' memutar keadaan yang awalnya terasa normal dalam hubunganku dengan ‘gadis’ ini.
Gadis yang berjalan tanpa sandal. Bukan karena ia tidak mampu memilikinya, tapi sensasi kebebasan yang ia rasakan dari tanpa alas kaki. Tak peduli jika sewaktu-waktu ia akan terluka karena menginjak ranting yang patah atau pecahan kaca atau paku di jalan setapak yang dilewatinya.
Gadis tanpa sandal ini berperangai ceria, bawel dan aktif dalam segala kegiatan yang ia ikuti. Kegiatannya yang seabrek ini membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di luar daripada rumahnya sendiri. Saat di sekolah ia cukup aktif dalam kegiatan pramuka dan paskibra, merelakan kulitnya yang berwarna kuning langsat berubah warna menjadi coklat disertai bau apek khas setelah menghabiskan seharian di bawah matahari. Karena ia tidak tinggal dengan Ibu dan Bapaknya—yang pada saat itu bekerja di Bogor—memberi privilege: tidak kena omel. Privilege lainpun dimilikinya, wanita sepuh yang menjaganya di rumah merupakan perempuan yang lembut dan memegang teguh ajaran agama Islam. Gadis itu hanya akan diomeli jika tidak melaksanakan perintah agama seperti sholat lima waktu dan mengaji setiap maghrib.
Kedekatannya dengan sang nenek pun terbukti dengan perannya sebagai ‘ekor kecil' yang selalu mengikuti. Pulang sekolah, ia menanggalkan seragamnya, berganti kaus dan rok kemudian ikut terjun ke sawah mengikuti neneknya mencari tutut atau bermain di sungai sementara sang nenek mencuci pakaian. Tipikal kehidupan masyarakat desa—sederhana, riuh, dan kini hanya bisa kurindukan setelah delapan tahun berpindah dari satu kota ke kota lain, hingga berakhir di Bandung.
Masa SMA tahun ke-satu hingga ke-dua gadis ini berjalan sangat cepat untuknya. Di sekolah setelah mengikuti pembelajaran ia akan mengikuti kegiatan pramuka dan paskibra, aktif di paduan suara kampung, dan sesekali mengikuti turnamen voli.
Semua ia lakukan demi satu mimpi: menjadi seorang polwan. Mimpi itu menyeretnya ke banyak hal sekaligus… tak hanya satu prestasi, namun lebih dari satu.
Seolah ia memang hidup untuk melakukan itu…
Seolah ia memang terlahir di dunia untuk mencapai berbagai keajaiban…
Namun dirinya ternyata terlahir seperti princess Ariel dalam The Little Mermaid. Yang rela menyerahkan suara, jiwa hingga lupa diri. Gadis ini menghapus segala upaya dan jerih payah yang sudah ia lakukan untuk meraih mimpinya demi cintanya. Ia tidak pernah menuntaskan masa SMA, tidak hanya untuk sekedar mencicipi menjadi siswa senior. Ia menikah dan menjadi Ibu rumah tangga dipernikahan singkat, bahkan sebelum benih jagung tumbuh. Dia dikhianati.
Pada titik ini ia merasa tidak memiliki jalan kembali kepada mimpinya. Kepada kehidupannya yang menyenangkan. Kepada waktu yang berlangsung cepat dari terbitnya matahari hingga digantikan rembulan. Dimulai saat itu, mesin waktu berjalan sangat lambat hanya untuknya.
Ia memutuskan untuk bekerja menggantikan Ibunya yang juga mulai menua. Bekerja siang dan malam untuk berperan menjadi Ibu sekaligus Ayah jarak jauh untuk puteranya. Kehidupan itu berlangsung hingga ia menemukan cinta yang baru, melahirkan anak perempuan dan kemudian… dikhianati kembali.
Sebuah keputusan besar ia ambil untuk menjadi jalan terbaik hidupnya dan kedua anaknya. Kedua anaknya ia titipkan kepada sang Ibu. Agar ia mampu bekerja dan memberikan lingkungan yang baik untuk kedua anaknya. Lingkungan yang dahulu ia miliki. Pada titik ini, cita-cita untuk menjadi polwan sudah memudar, lenyap dan hilang dalam hidupnya. Seolah-olah mimpi itu tak pernah ada. Bagai setetes air di gurun pasir.
Dua puluh lima tahun waktu berjalan, waktu terasa cepat untuk semua orang. Namun tidak untuknya. Ia tidak memiliki kedekatan fisik maupun emosional dengan kedua anaknya. Kesibukannya dalam bekerja membuatnya seringkali tidak dapat hadir disetiap momen buah hatinya: antar jemput sekolah, pembagian rapor, dll. Namun aku tahu ia selalu berusaha untuk hadir. Pada hari kelahiranku, ia akan datang dengan membawa brownies—kesukaanku—tak lupa dengan sederet do'a agar aku memiliki kehidupan yang lebih baik darinya. Pada saat itu aku tidak mengerti mengapa dia tidak ingin aku menjadi sepertinya. Aku juga ingat setiap dia akan pergi dan tak pulang dalam beberapa bulan untuk bekerja ia akan diam-diam menyusup ke kamarku dan memberi kecupan ketika aku tertidur. Kehidupan keras selama seperempat dekade membentuknya menjadi seorang Ibu yang tidak sentimental, keras kepala dan bodo amatan. Berbanding terbalik denganku. Hal ini membuat kami semakin menjauh. Tidak hanya secara fisik dan emosional, tapi batin antara Ibu dan anak.
Kemudian sebuah peristiwa terjadi. Sebuah peristiwa yang bagaikan tornado meluluhlantahkan segalanya. Sebuah peristiwa yang tak kusangka akan aku dengarkan dari mulut laki-laki yang kukira ‘dapat' menjadi rumahku. Suatu malam pada bulan Oktober yang dingin, di atas bukit dengan hamparan city light, dan kemilau bintang di atas kami… ia menceritakan ucapan Ibunya, “Kenapa keluarganya berantakan? Kenapa Ibunya menikah 2x? Kenapa mau sama anak dari keluarga ancur-ancuran? Bla bla bla" yang tanpa dia tahu hal itu terdengar seperti kematian di telingaku.
Hal-hal yang tak kuinginkan dalam hidup. Sesuatu yang tidak aku pilih. Namun melekat tanpa didamba. Lalu... ia dan keluarganya tak sudi menerima.
Segalanya tak lagi sama. Untuk beberapa saat aku semakin membuat jarak antara aku dengan gadis yang berjalan tanpa sandal ini.
Hingga aku sadar bahwa… aku tidak menjalani kehidupannya. Aku tidak berjalan di atas kakinya. Tidak melihat melalui kacamatanya. Tidak hidup di zamannya. Tidak melalui cobaan yang hadir silih berganti dihidupnya. Aku bukan dia. Aku tidak sekuat dia. Dia juga tidak memiliki ayah Laila dalam buku A Thousand Splendid Suns karya Khaled Hosseini, “Marriage can wait, education cannot. Because a society has no chance of success if it's women are uneducated, Laila. No chance. (Pernikahan bisa menunggu, tapi pendidikan tidak bisa. Karena sebuah masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk sukses jika perempuannya tidak berpendidikan, Laila. Tidak ada kesempatan.)" yang terbukti sangat akurat. Apalagi di dunia yang rasanya lebih keras berkali-kali lipat pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Fatalnya, kejadian itu juga membuat ia sakit. Terlalu memikirkannya. Tidak hanya berdampak padaku, namun ia juga terluka. Menyalahkan hidupnya atasku. Merubah perangainya yang non sentimental menjadi lembut. Membangkitkan keibuannya. Dimana hal itu memberikan jalan tengah dan titik aman satu sama lain. Menguatkan satu sama lain. Jalinan emosional antara Ibu dan anak yang tak pernah kami miliki kini hadir secara tanpa direncanakan.
Kini kami saling menguatkan setelah badai itu—belum sepenuhnya berdamai, karena masih ada beberapa badai yang sedang kami alami—setidaknya kami bertransformasi dan hidup selaras. Tanpa luka dari waktu, jarak dan ketidakhadiran satu sama lain selama seperempat abad.
Terakhir, ada satu hal yang baru aku pahami dalam setahun ini. Bahwa hubungan pertemanan, relasi dan cinta yang tidak tepat—yang tidak tahu cara ‘mencintai'—hanya bersifat sementara. Temanmu akan menjauh ketika sudah menemukan tambatan hatinya. Relasimu akan pergi setelah tidak ada lagi ikatan kepentingan. Dan cinta yang tidak tepat itu akan selalu pergi untuk tambatan yang baru. Namun seorang Ibu dan keluarga… hanya kematian yang mampu memisahkan.
Pada akhirnya, justru luka yang ditinggalkan orang lainlah yang mendekatkan keduanya. Membuat gadis yang berjalan tanpa sandal dan gadis yang selalu menenteng buku akhirnya berjalan beriringan. Hanya manusia yang tak memiliki empati akan hidup yang sudah dilalui oleh orang lain: pengalaman, luka, duka dan kehilangan, akan selalu merasa berhak menjadi hakim agung atas hidup manusia lain.
Dan untuk Mamah, dulu aku melihatnya hanya sebagai wanita biasa. Kini aku sadar, selama ini engkau adalah seorang gadis tanpa sandal yang diam-diam menyiapkan jalan agar aku bisa berjalan dengan alas yang lebih kokoh.
0 Comments
Show your respect with give me comment, please