Sebuah Penilaian

The topic starts with...

"Kayaknya A lebih utama deh daripada yang B."
"Menurut gue lebih penting otak daripada penampilan!"
"Ah, pentingin dulu perut sendiri daripada perut orang."
"Setidaknya udah minta maaf, kan? Dia nya aja yang songong gak mau maafin."



Sebenernya ini adalah salah satu topik yang sering banget gue temuin sehari-harinya--rumah, kampus, lingkungan organisasi dan lebih luas dari itu--sejak dulu. Dan mungkin menjadi hal yang sering manusia lakukan hingga mengakar menjadi sebuah kebiasaan, yakni melakukan penilain-penilaian. Tapi penilaian itu sendiri cenderung lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat negatif daripada positifnya. Contoh:

"Setidaknya udah minta maaf, kan? Dia nya aja yang songong gak mau maafin."

Apa cuma gue yang merasa tersinggung apabila menjadi seseorang yang dapet ucapan permohonan maaf dan menelan pahit bulat-bulat atas apa yang menjadi penyebab kenapa gue marah atau kecewa terhadap temen gue ini? And, seseorang yang udah 'ngerasa' permintaan maafnya itu sudah cukup untuk meminta maaf atas tingkah atau ucapannya yang keluar dari batas kewajarannya itu? Oke, kalo seandainya ia merasa nggak sengaja atau keceplosan. We can understand because our friends just want to be fun, tapi ada sesuatu hal yang salah dengan anggapannya itu! Apalagi terkadang harus kita semua pahami bagaimana cara meminta maaf yang baik. Minimal kita harus tulus. Maksimal kita tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. See, ada bedanya, kan?

Berbeda dengan kasus-kasus dimana permintaan maaf ditolak itu karena si yang mengungkapkan maaf itu mengucapkannya dengan alar kadarnya dan bahkan cenderung sabodo teuing kalo kesalahannya mau dimaafin atau enggak. Nah lho, jadi siapa yang salah dalam hal ini?

Gue gak bisa juga menyalahkan sepenuhnya kepada pihak yang gue maksud. Karena tidak semua orang yang menjadi korban ini memiliki sikap mudah memaklumi dan bahkan non-dendaman. Dan gue juga pernah kok dapet penolakan mentah-mentah dari seseorang, padahal gue udah minta maaf berkali-kali--dan itu berjalan sepanjang kelas 7 sampai 9 SMP--dimana pun kalau gue ketemu si temen gue ini. Gue minta maaf ke dia, eh dia cenderung cuek dan lempeng-lempeng aja. Sampai pada akhirnya kita disatuin kembali di kelas yang sama di tahun terakhir SMP. Padahal kalau gue inget-inget lagi hal yang menyebab kita berantem dan bikin temen gue ini marah segitu besarnya adalah sesuatu yang... ah nggak tau lah. Jadi gini, gue makan bareng-bareng di kelas, termasuk si dia sambil nyebutin hal terjorok untuk menantang siapakah yang paling jijik-an diantara kita. So, masing-masing diantara kita nyebutin dong. Dan gue inget dia nyebutin pup (dalam bahasa Sunda) yang bikin gue agak sebel. And finally, disaat gue nyebutin 'dahak' seketika itu juga orang yang gue maksud ini marah dan ngemusuhin gue.

And until right now, gue gak ngerti sumpah. Tapi ya yang namanya kemarin adalah kemarin. Kalian aja deh yang menilai bagaimana kasus di atas di komenan!

Yang kedua, "Lebih penting otak dari pada penampilan!" Yang ini gue ada setujunya, ibaratnya 60:40. Kenapa? Emang pada dasarnya lebih penting otak dan skill daripada penampilan, the inside more important than outside. The cover is not important from the contents of the book. Itu yang gue yakinin selam gue hidup. Karena buat apa coba lu berpenampilan sempurna, ngikutin trend dan ngabisin duit ke sekolah/kampus kalo di kelas lu cuma sekedar duduk-duduk cantik di barisan belakang dan haha hihi kalau temen lu bikin jokes yang sebenernya gak lucu? Men, apa sih yang sebenarnya salah untuk diprioritasin di sini? Dan apa yang sebenarnya cuma jadi 'pelengkap' atau gak penting-penting amat karena toh temen nggak bakalan ngaruh ke temen-temen lo. Ya sejujurnya, ada negative impact yang gue rasain selama ini nggak sepenuhnya enak. Beberapa temen gue yang seenaknya berkomentar, "Rim, kok baju lu itu-itu aja. Emangnya cuma itu aja yang lu bawa dari kampung?", "Rima ini kalau pake baju itu gak ada benernya (nggak nyambung) dari sepatu sampe kerudung" atau "Gue bosen yang dipake Rima itu-itu mulu."

Menurut kalian gimana? Adakah yang salah dari seseorang yang berpenampilan seadanya di kelas? Yang berusaha menutupi segala auratnya dengan pakaian-pakaian layak namun non-keren atau yang jadi trend pada saat itu? Apakah seorang teman memiliki hak untuk berkoar-koar demikian?

Di dalam hati gue selama ini, "Come on, guys! I'm not rich! I do not have money to buy the clothes! Dan gue gak punya niatan buat maksa-maksa kedua orangtua gue buat beli baju baru yang pada akhirnya... bakalan jadi pel-an."

Tapi gue gak bisa menampik jika di dunia kerja penampilan itu termasuk tiga hal yang menjadi syarat utama kalo gue mau diterima kerja. Karena banyak banget perusahaan yang pengen para karyawannya itu top dari atas sampe bawah. Bahkan nggak jarang perusahaan nggak nerima para pelamar yang pake jilbab. -_- Penampilan juga menjadi hal pertama yang menjadi tolak ukur penilaian orang-orang terhadap orang. Kalo lo pake baju asal-asalan ya orang akan menilai lu kurang baik. Kalo lo berpenampilan sopan ditambah lu punya attitude yang luar biasa, selamat lu bakalan dapet penilaian yang luar biasa juga. Jadi gimana dong, Rim? Jujur ya, kalau gue sendiri tetep lebih condong ke 'otak dan skill' untuk saat ini dibandingkan dengan penampilan. Tapi kalian boleh memiliki pandangan yang lain dari gue. Karena dunia perkuliahan gak seseram dunia kerja yang mengharuskan lu sempurna.

Dan terakhir, yang paling bikin gue geram setiap insan manusia mengeluarkan kata-kata tak berkemanusiaan seperti, "Ah, pentingin dulu perut sendiri daripada perut orang." Please guys, jangan menjadi orang yang paling egois sedunia! Jangan karena lu keabisan stok make up, pengen beli baju baru, pengen makan di restoran atau jalan-jalan buat selfie-selfie ria sampai kalian lupa salah satu tugas yang harus kita kerjakan di dunia ini. Yakni, menjadi seorang manusia yang berguna bagi sesamanya. Jangan sampai kalian gak pernah mikirin nasib para anak-anak atau bahkan orangtua yang makan aja mereka harus keliling-keliling dulu dengan meminta-minta sedangkan kalian ngerasa ngeluarin duit ratusan ribu buat makan di mall atau beli make up yang 'direkomendasiin' para beauty vlogger. Inget, beberapa mereka ngasih info karena mereka diendorse. Dan come on, apakah lebih sulit menyisihkan uang kalian seribu perhari terus dikumpulin ke dalam satu celengan yang nantinya kalian kasih ke panti asuhan, rumah ibadah atau orang yang membutuhan lainnya di sekitar kalian daripada beli make up atau baju yang harganya lebih dari Rp.100.000? Think again. Mungkin selama ini kalian salah memprioritaskan sesuatu yang sebenarnya perlu dan nggk perlu lakuin.

Kemudian contohlah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk hidup orang lain. Apalah hidup mereka nggak bahagia karena terlalu mementingkan hidup lain? Men, mereka bahagia dengan apa yang mereka lakuin. Karena bagi mereka kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan dia juga. Bukan dengan bahagia tanpa memperdulikan orang lain yang kesulitan, meskipun hanya untuk makan!

Gue salut banget dengan salah satu dosen gue sekarang, bersyukur karena Allah SWT mempertemukan kami. Karena beliau mengajarkan gue banyak hal, khususnya iklas dengan segala hal takdir yang Allah SWT gariskan untuk gue. Dan gue benar-benar kagum sekaligus ingin mengikuti jejaknya suatu saat nanti--insya'Allah--dengan memiliki anak yatim piatu berjumlah 30 orang. So, sayang banget kalo lo ngerasa Rp.100.000 mending dipake buat beli sesuatu yang nggak bakalan bikin pahala lu bertambah daripada memberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Karena ada orang yang berjuangnya melebihi kalian semua untuk orang lain.

Remember, berkali-kali Allah SWT mengingatkan kita untuk membantu orang lain di dalam Al-Qur'an. Atau, apa sih yang buat kalian ragu saat mau berbuat baik? Apakah takut jika seandainya pengemis yang mau lu kasih santunan itu sebenarnya orang yang berkecukupan yang nyamar jadi gelandangan karena mereka gak mau repot-repot cari duit? Kalau memang itu yang jadi penghambatnya, kenapa nggak lu pasrahin ke Allah SWT apapun yang menjadi 'rahasia', yang penting lu niatnya ngebantu orang. TITIK. Nggak susah kan?

So, kalau ng berbuat baik sekarang kapan lagi? And the last, gue pengen dengan tulisan ini bisa merubah pola pikir kalian. Membuka pikiran kalian. Dan membuka hati kalian. Karena memang sebagai seorang manusia, kita harus mengingatkan orang lain dalam hal kebaikan.

Post a Comment

4 Comments

  1. Untuk poin ke 2 itu kn menurut solihat lebih milih Otak dan skil dulu dri pada penampilan untuk sekarang berarti nanti mah bisa berubah dong yah
    NamDos nya siapa??

    ReplyDelete
  2. Untuk aku pribadi memang untuk sekarang lebih baik mengutamakan dua aspek itu. Apalagi untuk seseorang yang belum mengenal jati dirinya, lebih baik mengeksplor dirinya dan mengasah bakat yang ada dibandingkan sibuk memperbaiki cover.

    Nama dosen yang dimaksud Bu Endang yang sering dipanggil Bunda.

    ReplyDelete

Show your respect with give me comment, please