Beberapa tahun yang lalu merupakan masa-masa tersulit bagi diriku sendiri. Banyak hal sering sekali aku pikirkan dalam satu waktu. Baik itu perihal akademik, pekerjaan, keuangan, pertemanan, percintaan hingga keluarga. Cangkang atau lapisan terluarku memang sudah terpatri sebagai pribadi yang cerah dan ceria dimata orang-orang, namun bagi kelompok kecil yang menjadi terdekatku mereka yang lebih mengetahui aku paham betul bahwasanya aku adalah 'Si Pemakai Topeng Terbaik'.
"Kerjaannya ngebadut di depan orang-orang. Sebenarnya suka overthinking dan rapuh di dalam".
Cangkang atau topeng itu sudah aku pakai dan terasa seperti jadi diriku sendiri sejak masa awal-awal perkuliahan hingga hampir pertengahan tahun 2023. Aku senang sekali membuat banyak lelucon di depan orang-orang, namun saat kembali ke kosan atau pada saat sendirian, awan kabut menyeliputi pikiran hingga pandanganku sendiri. Gelap total!
Kok bisa? Bisa, tentu saja. Aku yakin beberapa diantara kalian mungkin pernah mengalaminya, baru selesai atau mungkin baru memasukin fase ini.
Fase dimana ada banyak hal yang terjadi namun tidak sesuai dengan keinginan. Kenyataan vs realita. Contoh dalam kasusku adalah hubungan dengan seseorang yang aku anggap penting dan berarti dalam hidup, tidak pernah berjalan sesuai dengan yang aku harapkan. Tahun demi tahun aku habiskan dengan mengemis dan memohon-mohon untuk diberikan waktu dan kasih sayang olehnya, tidak pernah aku dapatkan. Tak hanya satu atau dua kali aku memohon hal itu, jika ditelusuri di chat Whatsapp kami, jumlahnya mungkin puluhan sejak 2017. Sampai aku menemukan puncak bom waktu dan juga didorong oleh beberapa hal yang terjadi diaspek lain, berdampak amat sangat buruk untuk kondisi mental dan tubuhku sendiri seperti kepala pusing minta ampun, rambut rontok, demotivasi, uring-uringan, jerawatan hingga terkena sebuah penyakit yang dilatar belakangi setres oleh dokter yang aku datangi untuk menjalani pengobatan rutin.
Aku ingat sekali ketika diberitahu seberapa parah sakitku saat itu membuat aku dan salah seorang sahabatku, Vidina, menangis disepanjang perjalanan. Aku dimarahi habis-habisan olehnya, karena selalu memakai topeng dan memikirkan banyak hal sehingga dia anggap aku dzolim atau jahat terhadap diriku sendiri.
Singkat cerita, pada hari ini, bulan Februari 2024, alhamdulillah berkat Allah SWT dan sahabat-sahabatku—di Bandung maupun dimana pun—aku merasa kehidupanku—mental dan fisik—sudah jauh lebih baik dibandingkan Mei 2023. Lalu apa yang aku lakukan atau hal apa saja yang mendorong untuk sampai ke fase atau anak tangga yang kusebut sebagai 'Menari Dengan Takdir Sendiri'? Karena kita semua tahu bahwa kata 'Ikhlas' lebih mudah diucapkan dibandingkan dilakukan. Sama aku juga merasa ikhlas yang keluar dari mulut orang-orang terdengar seperti ejekan karena yang mereka lakukan hanyalah menyarankan aku untuk ikhlas dibandingkan tahu bagaimana rasanya. Tapi ternyata, banyak hal yang membuat kita bisa 'lebih ikhlas' atau berdamai dengan takdir.
Berikut ini adalah beberapa hal atau yang aku lakukan untuk bisa lebih sembuh sehingga aku bisa Menari Dengan Takdirku sendiri:
1. Ingat Bahwasanya Yang Terjadi Sudah Ketetapan-Nya
Kalau di dalam agama Islam, salah satu poin wajib dalam rukun iman salah satunya adalah iman kepada Qada dan Qadar yang merupakan rukun iman ke-enam. Qada merupakan kepastian sedangkan qadar merupakan ketentuan. Contohnya kelahiran, kematian dan rezeki.
Hal-hal seperti kelahiran atau background keluarga merupakan hal yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Keluarga dimana kita dilahirkan tidak bisa diubah seenaknya seperti kita ingin dilahirkan di keluarga dan jadi anaknya Angelina Jolie. Aku jadi teringat salah satu film yang dibintangi Emma Watson yakni The Perks of Being A Wallflower yang juga diadaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Stephen Chbosky katanya,
“So, I guess we are who we are for a lot of reasons. And maybe we'll never know most of them. But even if we don't have the power to choose where we come from, we can still choose where we go from there. We can still do things. And we can try to feel okay about them.”
Kita beneran nggak dikasih pilihan sama Allah buat dilahirin di mana dan di keluarga mana, serius deh! Tapi ajaibnya, kita dikasih privilege sama Allah untuk berdo'a dan berikhtiar untuk menjadi apa dan seperti apa diri kita di masa depan! Anak dokter bisa aja besarnya jadi penari balet. Anak guru bisa saja besarnya jadi pebisnis. Anak seorang Ibu tunggal juga memiliki potensi dan kesempatan untuk jadi penulis atau apapun itu. Keren kan?
2. Stoikisme
buku Filosofi Teras |
Akhir-akhir ini aku belajar sebuah ilmu yang sudah berumur lebih dari 2500 tahun. Adalah sebuah aliran filsafat stoik atau stoikisme yang dikenalkan oleh seorang Marcus Aurelius, seorang kaisar romawi pada 161 masehi. Marcus merupakan seorang filsuf yang menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam memoir yang kemudian dijadikan sebuah buku berjudul Meditations. Salah satu pemikirannya yakni stoik atau stoikisme.
Stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang banyak mengajarkan mengenai kendali diri. Marcus selalu berlatih memilah "apa yang tergantung padaku dan apa yang tak tergantung padaku" agar terhindar dari penyakit jiwa yakni emosi-emosi negatif seperti setres, iri hati, marah, dll. Ilmu stoik ini aku kenali dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Buku yang dilatar belakangi dari perjalanan dan struggle penulisnya sendiri yang depresi hingga mencari cara agar tidak ketergantungan kepada obat yang diresepkan psikiaternya sebelum Henry mengenal ilmu stoikisme.
Hal-hal seperti kematian, background keluarga, omongan atau tindakan orang lain dikategorikan sebagai 'tidak tergatung padaku', sedangkan hal-hal seperti respon, pikiran, tindakan diri sendiri dikategorikan sebagai 'hal tergantung padaku'. Marcus sebagai kaisar roma senang untuk memilah hal-hal yang terjadi pada hidupnya atau ketika dihadapkan berbagai situasi ketika perang terjadi untuk dipilah-pilah sehingga dirinya mampu untuk menghindari emosi negatif.
Melalui apa yang aku baca dari buku Filosofi Teras, aku juga mulai belajar banting setir dari kebiasaan yang hampir seumur hidup aku lakukan. Aku sering sekali memikul beban dengan menaruh banyak emosi negatif di dalam diriku sendiri akan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa aku perbuat atau ubah seperti pandangan dan tindakan oranglain terhadapku. Meskipun aku sudah mencoba untuk menjelaskan dan berbuat baik kepada orang-orang yang 'kurang' menyukaiku, yang aku dapatkan adalah mereka semakin membenci diriku. Padahal yang aku inginkan hanyalah pandangan mereka berubah sesuai dengan apa yang ada padaku. Kemudian aku juga teringat kalimat dari Ali Bin Abu Muthalib,
"Tidak perlu menjelaskan dirimu pada siapapun, karena yang menyukaimu tidak membutuhkan itu dan yang membencimu tidak mempercayai itu".
Jadinya setelah aku berusaha untuk bersikap baik dan mengatakan hal-hal baik kepada orang-orang itu, yang aku dapatkan malah kebencian yang lebih besar lagi. Jadi, yang kulakukan saat ini adalah pelan-pelan untuk berhenti menjadi people pleasure dan bersikap sangat baik kepada orang-orang yang menyukaiku dan bersikap 'sewajarnya' kepada orang-orang yang tidak menyukaiku.
Aku marah dan kesal? Nggak perlu. Cukup bersikap sewajarnya. Toh, hanya kita yang bisa mengendalikan kebahagiaan kita bukan orang lain.
3. It's Okay To Not Be Okay
Kalimat ini aku kutip dari salah satu judul drakor yang aku tonton. Tetapi kalimat ini juga merujuk apa yang selalu dikatakan oleh salah satu sahabatku, teh Imel, yakni validasi perasaan. Katanya, "Tidak apa-apa kok untuk merasa kecewa, marah atau sedih akan sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Jangan denail, notice saja keberadaan emosi-emosi itu karena kita adalah manusia". Dari aku yang dahulu kerjaannya pakai topeng di depan orang lain berubah menjadi pribadi apa adanya namun kenal juga akan situasi dan kondisi dimana aku lebih berani untuk bertutur kata mengenai masalah-masalahku kepada sahabat-sahabatku. Dan ya, kita memang manusia dan amat sangat wajar jika merasa tidak baik-baik saja dalam menjalani kehidupan. Nggak wajarnya jika kita melampiaskan emosi-emosi negatif tersebut kepada orang lain yang tidak terlibat bahkan menjadi sumber emosi itu sendiri.
4. Olahraga, Beli Sepeda atau Jalan Kaki!
Menurut riset, orang-orang yang rajin berolahraga—catat, bukan aktivitas seperti bekerja—cenderung lebih berstamina dan memiliki pikiran yang fresh dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Hormon endorphin atau hormon kebahagiaan juga muncul salah satunya karena aktivitas olahraga. Tak hanya itu, menurut buku yang kubaca berjudul Learning How To Learn karya Barbara Oakley, Terry Sejnowski dan Alistair Mcconville, mode difusi (atau sebuah kondisi dari otak aktif menjadi bersantai saat beristirahat dan tidak memikirkan hal tertentu) yang baik salah satunya dengan cara berolahraga.
Pada Mei 2023, aku secara random dan tidak terencana membeli sepeda lipat yang harganya cukup terjangkau. Bersepeda kemudian menjadi habit atau kebiasaan baruku. Belasan kilo meter sampai pernah menyentuh angka 45 KM aku tempuh mengelilingi kota Bandung. Hal itu cukup efektif membuat pikiranku lebih tenang meskipun badan terasa sakit pada awalnya karena belum terbiasa.
Tak hanya bersepeda, sering kali juga aku melakukan jogging, lari, naik gunung atau olahraga lainnya. Hari-hari ini, aku merasa lebih fit hingga mampu melakukan aktivitas-akhivitas yang cukup padat tanpa merasa kelelahan berlebihan. Terlebih, orang-orang disekitarku melihat perubahan antara diriku di awal tahun dan akhir tahun 2023.
Awal & Akhir Tahun 2023 |
Bonusnya, berat badan aku yang pernah menyentuh angka 64 kg turun menjadi 56 kg sekarang.
5. Pilihlah Orang-Orang Terdekat
Pernah mendengar istilah 'diri kita tergantung 5 orang terdekat?' atau 'bertemanlah dengan penjual minyak wangi bukan penjual ikan asin'. Istilah-istilah tersebut menggambarkan kondisi dimana diri kita akan terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang-orang terdekat kita. Dimana jika kita berteman dengan orang-orang yang sering mengeluh dan marah-marah, maka kita akan tertarik untuk memiliki kebiasaan tersebut. Sebaliknya, jika kita berteman dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan yang positif, kita juga akan tertular untuk bersikap demikian.
Ada beberapa poin yang kucari dari seorang teman dekat—btw, aku masih senang berteman dengan semua orang—karena tidak hanya kebiasaan baik orang-orang terbaik akan menular kepadaku tetapi agar aku bisa selalu terpacu untuk termotivasi mengejar goals-ku sendiri. Seperti memiliki hobby yang sama (membaca buku, menjelajah alam, olahraga sampai ke film), produktif dibidangnya atau passion (seperti senang membuat konten), dan mendorongku untuk beribadah. Jika kita belum bisa menjadi apa yang kita cita-citakan, namun melalui orang-orang terdekat kita akan terpacu untuk produktif juga.
6. Jurnaling
Kebiasaan jurnaling sudah aku kenal dari sekolah dasar dalam penyebutan lain yakni diary. Namun pada dewasa ini aku memodifikasi poin-poin yang aku tulis, yakni:
- Apa yang ku syukuri hari ini?
- Apa yang akan ku lakukan hari ini?
- Apa yang terjadi hari ini?
- Apa yang sudah aku lakukan untuk mendukung masa depanku?
Jurnal juga akan menjadi saksi hidup yang sewaktu-waktu akan kita baca. Pada saat ini, aku bisa menertawakan kejadian-kejadian atau aktivitas yang aku lakukan ketika dimasa perkuliahan. Mungkin, kejadian yang aku alami hari ini dapat aku tertawakan pada tahun-tahun berikutnya sambil mengucapkan, "Wah, aku sudah bertumbuh dan berubah banyak dari lima tahun yang lalu ya".
7. Lakukan Apapun Yang Membuat Bahagia
Lakukan apapun yang membuatmu bahagia, izinkan dirimu sendiri untuk melakukan apapun yang kamu mau. Pergilah menaiki gunung, bersepeda di saat hujan, melukis, membaca buku atau minimal mengupas plastik buku barumu, atau buat kenangan disetiap kegiatan yang kalian lakukan. Tidak perlu menggubris pendapat atau keluhan orang-orang yang melihat story instagrammu ketika kamu memposting kegiatan seharianmu di sana. Aku pun yang mendapatkan nyinyiran, "Rima sok iye. Sok suka baca buku, ngegambar dan ke alam" dari salah satu orang di kantor pun ngga aku ambil pusing. Karena aku yakin selama aku tidak merugikan atau mungkin memakai uang orang lain, yang aku lakukan toh oke dan positif-positif aja. Dan kalian nggak akan pernah tau efek dari postingan olahraga atau aktifitas kalian lakukan dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam kasusku, aku mendapatkan DM random dari seseorang yang menjadi mutual di instagramku padahal kami tidak berteman secara luring.
Apakah awalnya aku sudah memperkirakan apa yang aku posting akan berakibat kepada orang lain? Tentu saja tidak. Aku senang mengabadikan momen hanya untuk sebagai arsip digital yang kunikmati sendiri atau orang-orang terdekatku. Semenjak saat itu aku jadi semakin semangat untuk mengabadikan dan membagikan setiap kebahagiaanku di media sosial. Di satu sisi, aku juga semakin yakin efek postingan-postingan negatif juga akan mempengaruhi orang lain. So, jangan posting soal emosi yang kita alami atau aib ya!
Begitu lah 7 hal yang mampu membuatku keluar dari diriku yang lalu. Meskipun belum sampai di puncak 'ikhlas', setidaknya saat ini aku mampu menari dengan takdirku sendiri.
Terakhir, aku menyakini apa yang terjadi padaku sejak kecil hingga saat aku menulis artikel yang dibaca kalian saat ini, akan membentuk pemikiran dan diriku sekarang dan masa depan. Contoh, jika aku tidak terlahir di dalam keluarga yang bercerai, aku tidak akan memiliki sikap dan pemikiran yang mendorongku untuk mengambil kelas Sekolah Pra Nikah Salman ITB, belajar parenting, berhati-hati dalam percinta atau bahkan membentuk diriku lebih mandiri dan kuat.
Oke deh, terima kasih banyak ya guys sudah membaca artikel yang menulisnya aku harus terlebih dahulu membaca buku karena aku sadar bahwasanya waktu kalian amat sangat berharga jadi aku tidak boleh menyia-nyiakannya dengan hanya menulis tanpa arah.
Love, Rima.
0 Comments
Show your respect with give me comment, please