Does Sterepotypes Make Us Better? | Talk Talk Talk


Apakah ini yang dirasakan Kartini?

Sekarang ini jam jam 0:11 WIB, dan gue nggak bisa tidur karena ngerasain sesuatu yang secara tak terduga nusuk tepat di ulu hati gue, to be honest.

Dimulai hari lebaran kemarin. Dimana hari itu menjadi hari bagi keluarga besar gue kumpul—tradisi di keluarga gue—dari sanak saudara yang udah sering ketemu sampai yang kumpulnya cuma hari itu doang. Banyak banget. Apalagi keluarga gue dateng dari berbagai tempat: Bogor, Bandung, Jakarta, dll, terhitung lebih dari lima kepala keluarga, bisa kebayangkan segimana banyaknya keluarga?

Dan di hari itu gue udah bisa nebak diusia dan status gue sekarang ini alih-alih mengharapkan THR yang biasanya gue terima, tapi yang dateng adalah serentetan pertanyaan seperti, ‘Rima udah punya pacar belum?’, ‘Rima pacarnya mana?’, ‘Wah, Rima bentar lagi nikah’, dan serentetan pertanyaan yang sejujurnya bikin gue risih berseliweran ke kuping ini. Hello, you’re talking with a 20 girl not 30! Sejujurnya gue ngerasa risih bahkan ketika sebuah pernyataan, ‘Masa sih Rima nggak pacaran’ muncul ketika gue jawab ‘I’m single because want to be focusing on my study, and I’m young too’. Hmm... seolah-olah jawaban gue itu diluar dari nalar mereka.

Emangnya apa salahnya sih jomblo diusia 20? Atau diusia 25, 26, 27 bahkan diusia 30? Bagi gue—sekarang ini—hidup gue bukan hanya sekedar cinta-cintaan yang sebenarnya ‘memang’ masih bisa dinomor kesekiankan dari hal apapun yang lebih ingin gue lakuin sekarang. Seriously, I’m also getting mad when I saw young girls—under 17—who going crazy, stressed, unfocus, and frustation until think if she will be better in suicide because fall in love with wrong person. Jijik aja liatnya. Dan setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing yang nggak bisa orang lain atur-atur mengenai apa yang mau ia lakuin terlebih dahulu.

Seperti contohnya beberapa kerabat atau temen gue yang memutuskan untuk nikah setelah lulus SD atau masih SMP dengan segala macam pertimbangan dan keputusan mereka. Tapi gak ada satupun keluarga gue yang nanya, ‘Serius mau nikah muda? Nikah itu nggak sesederhana kata romantis yang sering diutarain pacar lo tuh’, karena menurut gue sebuah hubungan—apalagi sampai berkeluarga—nggak sesederhana dan segampang mulut cowok yang dengan gampangnya nyatain cinta, kata-kata gombal—yang bisa aja udah pernah dia utarain ke mantannya, nafsu belaka, dan stereotif kolot that  young married it’s a prover thing than anything. Seriously, gue bahkan ngerasa mau nangis ketika orang-orang disekitar gue beranggapan bahwa gue ini ‘aneh’ karena masih mau kuliah bahkan setelah jadi sarjana, nggak punya minat sama yang namanya ‘pacaran’, dan ngebandingin gue dengan teman-teman gue yang sudah beranak pinak dan sejahtera berpenghasilan setelah lulus SMA, entah itu kerja di pabrik, mini market, dll.

Seperti yang udah gue bilang di atas, persoalan dengan laki-laki ini masih bisa gue nomor sekiankan dibandingkan dengan hal-hal yang pengen gua raih di usia gue—bahkan sampai usia 25, I thought. Gue masih pengen memperbaikin diri sendiri yang masih banyak minusnya, menyelami ilmu pengetahuan, get connection with kind people, mempelajari banyak hal, dan meraih cita-cita gue. Tapi bukan berarti gue menentang pernikahan dini, nggak, gue hanya memandang remaja-remaja seusia gue atau bahkan diusia lebih muda dari gue itu belum pantas buat jadi seorang isteri bahkan seorang Ibu jika ia masih kekanakan, belum mapan, belum ngerti cara kerja dunia, ngambil keputusan secara terburu-buru atau mengikuti keputusan orang lain, orangtuanya misalnya. Gua nggak setuju dengan hal itu. Karena nantinya bukan orangtua mereka lagi yang mengambil keputusan, menafkahi dan bertanggung jawab atas situasi mereka (read: pernikahan) tapi diri mereka sendirilah yang menjadi pilot di dalam penerbangan mereka. Dan seandainya suatu saat nanti pesawatnya jatuh, bisa dipastikan orangtua mereka nggak bisa bertanggung jawab dengan pernikahan mereka.

Seperti yang menimpa seorang wanita India—maaf, lumpuh—yang gua tonton di TED. Menurut gue segala hal yang terjadi padanya: menikah muda dengan seorang laki-laki berengsek dan egois, tidak bisa mendapatkan kebebasan dan menjalankan pilihan hidupnya diusianya, menjadi seorang janda dengan cacat karena kecelakaan karena suaminya adalah dikarenakan stereotif ‘nikah muda’ di India sana. Yang juga masih sering terjadi di Indonesia, khususnya di daerah gue. Sekarang siapa yang bisa disalahkan? Nggak ada. Namun gue salut dengan ketegaran dan ketangguhan dia saat terjatuh yang disebabkan oleh sebuah pilihan yang bahkan tidak ia pilih, pernikahan.

Ada juga kasus dimana temen gue yang terjerumus karena kesalahan patal yang ia lakuin dalam satu malam yang bakalan ia rasain seumur hidup. She’s got pregnant in 16 years old. Menikahlah dia ini dengan laki-laki yang nggak sekolah dan totally pengangguran sejak lulusan SD. Gue nggak mau menceritakan kehidupan dia yang sebenarnya sama sekali gak bisa dijadikan bahan lelucon, hanya saja kabar yang gue dengar adalah saat ini dia punya tiga orang anak, dia cerai terus pergi ke Padang, and you know what she’s husband did? Ofc, selingkuh dan tetap jadi ‘pengangguran abadi’.

Silahkan menilai sendiri.

Gue ngerasa zaman ini sudah terlalu modern untuk pikiran-pikiran yang ‘mengkukuhkan’ wanita itu jangan terlalu mengejar pendidikan karena pada akhirnya dia bakalan stay di dapur dan di kasur—maaf gue nggak mensamarkan, gue hanya ingin membuat semuanya jelas, sejelas sarkasme orang-orang terhadap banyak wanita yang selalu merasa haus akan ilmu. Anggapan itu benar-benar menjatuhkan ‘nilai’ seorang wanita menurut gue. Bahkan di dalam agama gue sendiri menekankan pentingnya sebuah ilmu dan utamanya seorang hamba mencari ilmu. Sesuatu yang bisa didapatkan oleh orang tak memandang gender dia apaan.

Gue nggak menapik bahwa memang pada akhirnya setiap wanita akan turun ke dapur, tapi gue ingin terjun ke dapur dengan ilmu yang luas dan open minded. Karena ketika gue sudah menjadi Ibu, gue ingin menjadi guru pertama yang mendidik dan memperkenalkan dunia untuk anak-anak gue. Di dalam ilmu sosiologi yang gue dapat saat SMA, guru gue sering menekankan bahwa pendidikan pertama seorang anak adalah di rumahnya atau orangtuanya. Segala hal tingkah laku anak itu bersumber dari orang-orang di sekitarnya. Rasanya gue bakalan sedih kalau gue nggak bisa jawab segala macam pertanyaan-pertanyaan anak gue yang ia tanyakan ke gue dimasa rasa penasaran mereka lagi tinggi-tingginya.

Diusia 20 ini gue ngerasa pacaran masih bukan sesuatu yang urgent. Bahkan untuk sekedar balas chat-chat iseng cowok yang cuma nanyain gue lagi ngapain, dimana, ketawa-ketawa setiap jam, rasanya gak penting. Buang-buang waktu. J
Kagum aja gue sama cowok-cowok di luar sana yang kerjaannya keluar masuk perpustakaan, tugasnya udah selesai sebelum masuk kelas, mondar-mandir karena organisasi, sibuk kerja, setiap ngobrol isinya cita-citanya, and not spend his time too much for a little thing.

Silahkan menilai sendiri.

Lalu, pandangan orang-orang mengenai emansipasi wanita yang membuat kita—wanita—menginjak kepala laki-laki karena merasa berpendidikan, memiliki jabatan dan tak berketergantungan. Gue gak bisa menapik akan ada seorang wanita yang berperilaku demikian yang diakibatkan karena kemandiriannya untuk dirinya sendiri. Namun bisa digaris bawahi bahwa nggak setiap wanita kayak gitu. Bahkan banyak juga wanita-wanita yang mundur dari posisi yang ia cita-citakan, dan menjadi seorang Ibu rumah tangga sepenuhnya. It’s unfair to make us stupid because that opinion.

Terlebih gue merasa jika gue berpendidikan, bekerja, gue juga bisa ikut membantu untuk membangun keluarga gue—itupun jika suami gue mengizinkan gue untuk kerja. Karena gue pengen gue dan suami masa depan gue ini menjadi sebuah tim hebat yang keduanya sama-sama berjuang, bukan cuma seorang. Kalaupun suami gue gak ngijinin dan kondisi kita jauh dari kata darurat, sepenuh hati gue akan mencoba untuk menjadi anggota tim yang baik di rumah kita. Contohnya kayak Tasya Kamila, dimana dia merasa nggak mengalami kemunduran dan ilmunya setelah menempuh pendidikan di Columbia University itu sia-sia setelah nikah dan menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Gue yakin menempuh ilmu itu nggak akan sia-sia.

Silahkan menilai sendiri.

Dan terakhir, jangan pernah merasa layak untuk membanding-bandingkan kehidupan orang lain, mau itu temen sendiri, pacar atau keluarga. Contohnya ketika si A ini masih sibuk kuliah dan berorganisasi, sedangkan teman se-SMA dia udah kerja di pabrik dan berpenghasilan sampai dia bisa kredit motor, modis, dll. Setiap orang memiliki pemikiran, keputusan, prinsip dan cita-cita yang berbeda. Ada orang yang udah capek sekolah, ada pula orang yang masih haus ilmu sampai dia bercita-cita dapat gelar doktor. Jangan pernah ngehakimin seseorang karena dia berbeda dari kebanyakan. Dan untuk yang berbeda, jangan pernah goyah.

Pandangan orang-orang yang gue terima benar-benar bikin gue pengen nangis, sadar bahwa ternyata gue diperhatiin banyak orang namun nggak ada satupun orang yang paham gue. Ternyata yang mengerti ‘kita’ ya hanya diri kita sendiri dan Allah SWT. Dan gue tau pandangan gue ini mungkin banyak ditentang orang, tapi ya seperti yang gua tekankan, setiap orang itu berbeda. Pendapat itu berbeda-beda, semuanya benar dan nggak ada yang salah.

Segini dulu deh pandangan gue dalam edisi Talk to Myself, semoga bisa merubah pandangan kalian mengenai tofik ini. Dan jangan sungkan untuk berbagi cerita bahkan pandangan kalian di kolom komentar yang insya’Allah gue jawab. Oh iya, mungkin dalam waktu dekat ini gue bakalan posting tulisan gue. Bubye! :*

Post a Comment

5 Comments

  1. Wah artikel nya bagus. Padahal saya belum baca. Btw nitip kentang gan🥔

    ReplyDelete
  2. Warbiasah👏. Kesimpulannya jangan pernah goyah terhadap prinsip dan open minded to be positiv.

    ReplyDelete
  3. Hi Alchosilber, makasih udah baca... Oke saya bakalan mampir and maybe I'll read some your post!

    ReplyDelete

Show your respect with give me comment, please